Fatwa asy-Syaikh al-Albani tentang Sholat Dua Hari Raya Bersama Pemerintah

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.” [HR. at-Tirmidzi no. 697, dishohihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shohihah no. 224]

FIQIH HADITS :

At-Tirmidzi berkata : “dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata : makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).”

Ash-Shon’ani berkata dalam Subulus Salam (2/27) : “Pada hadits ini ada dalil bahwa yang teranggap dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber’iedul Fithri atau pun berkurban”.

Ibnul Qayyim menyebutkan makna hadits ini dalam Tahdzibus Sunan (3/214): “Dikatakan bahwa pada hadits ini terdapat bantahan atas orang yang berkata: “Sesungguhnya barangsiapa yang melihat munculnya bulan dengan mengukur tempat-tempat terbitnya (cara hisab), boleh baginya berpuasa dan beriedul Fithri sendiri, tidak seperti orang yang tidak mengetahuinya”. Dikatakan bahwa seorang yang melihat munculnya hilal sendirian, tetapi hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia pun belum berpuasa”.

Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata dalam kitabnya Hasyiyah ‘ala Sunan Ibni Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan at-Tirmidzi : “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan awal Ramadhan, Iedul Fithri dan Iedul Adha, pent) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa/ pemerintah dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.”

Aku (al-Albani) katakan : “Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq yang melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu hari nahr/berkurban (yakni, sudah ‘iedul Adha, pent), lalu ‘Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah berkata :

النَحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ, وَالفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ

Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari manusia berbuka.”[1]

Aku (al-Albani) katakan : Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang diantara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna dalam safar dan diantara mereka pula ada yang mengqasharnya. Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada saat berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina 4 rakaat. Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”

Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum ajma’in.

Hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang selalu berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih bahwa keadaan para imam itu beda dengan madzhab mereka! Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan kebanyakan kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.”

[Terjemahan dari fiqih hadits no. 224 dalam as-Silsilah ash-Shohihah oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani -rahimahullah-, https://tholib.wordpress.com]

Catatan kaki:

[1] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari jalan

Abu Hanifah, Ia berkata: Menyampaikan kepadaku Ali bin Aqmar, dari Masruq, bahwa ia mendatangi rumah Aisyah pada hari Arafah (dalam keadaan tidak berpuasa –pent.). Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Berilah Masruq minuman dan perbanyaklah halwa untuknya!” Masruq berkata: “Tidaklah menghalangiku untuk berpuasa pada hari ini, kecuali aku khawatir hari ini adalah hari raya nahr (iedul Adha). Maka Aisyah pun berkata:

النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ

“Hari raya Nahr adalah hari manusia menyembelih, dan iedul Fithri adalah hari ketika manusia berbuka (yakni tidak lagi berpuasa).” [Syaikh al-Albani berkata : ‘sanad ini jayyid’, lihat ash-Shohihah no. 224, pent]

_____________________________

Artikel terkait: